My instagram

Instagram
Selamat datang, selamat menikmati hidangan yang tersaji

Senin, 28 Oktober 2013

Kompetensi guru professional

a.       1) Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial sebagai berikut;
b.      2) Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. 
c.       3) Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar
d.      4) Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya


pendekatan


Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran 300x188 Pendekatan Saintifik dalam PembelajaranEsensi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran

Pendekatan saintifik (scientific) disebut juga sebagai pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik.Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persensetelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.

Kaidah-kaidah Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran

Penggunaan Pendekatan saintifik dalam pembelajaran  harus dipandu dengan kaida-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
Pertama: Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
  • Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
  • Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
  • Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapatdipertanggung-jawabkan.
  • Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Kedua: Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
  • Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
  • Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
  • Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas.  Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
  • Penemuan coba-coba.  Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban.  Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang  seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
  • Asal Berpikir Kritis.  Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.

guru

Upaya-upaya Guru Meningkatkan Profesionalisme
Peningkatan profesionalisme guru sebenarnya ditentukan oleh seorang guru itu sendiri. Apakah seorang guru tesebut ingin menjadi seorang guru yang profesional atau tidak Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang guru jika ingin meningkatkan keprofesionalisme, yaitu :

1. Memahami standart tuntutan profesi yang ada.
Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada (di Indonesia dan yang berlaku di dunia) harus ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru kita ingin meningkatkan Profesionalismenya.Sebab, persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara, sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belajar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan membuka diri yakni mau mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya.

2.Mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan.
Upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang di persyaratkan juga tidak kalah pentingnya bagi guru. Dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melului training, seminar, dan berbagai upaya lain untuk memperoleh sertifikasi.

3. Membangun kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi.
Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilkukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui jaringan kerja inilah guru dapat memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya.Dalam hal ini juga dapat di bina melalui jaringan kerja yang luas dengan menggunakan tekhnologi komunikasi dan informasi, misal melalui korespondensi dan mungkin melalui internet. Apabila hal ini dilakukan secara intensif akan dapat diperoleh kiat-kiat menjalankan profesi dari sejawat guru di Indonesia bahkan dunia.

4. Mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen. Upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada konstituen merupakan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituenya yaitu siswa , Orang tua dan sekolah . Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik yang di danai, di adakan dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik.

5. Mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan inmormasi mutkhir agar senantiasa tidak keinggalan dalam kemampuannya menggelola pembelajaran. Satu hal lagi yang dapat diupayakan ntuk peningkatan profesionalisme guru adalah melalui adopsi inovasi atau pengembangan kreatifitas dalam pemanfaatan tekhnologi komunikasi dan informasi mutakhir. Guru dapat memanfaatkan media presentasi komputer dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang tekhnologi pendidikan. Upaya-upaya guru untuk meningkatkan profesionalismenya tersebut pada akhirnya memerlukan adanya dukungan dari semua pihak yang terkait agar benar-benar terwujud. Pihak-pihak yang harus memberikan dukunganya tersebut adalah organisasi profesi seperti PGRI, pemerintah dan juga masyarakat.
Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sembilan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: 
1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru
2) penguasaan landasan pendidikan
3) menguasai bahan pengajaran
4) kemampuan menyusun program pengajaran
5) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar
6) kemampuan menyelenggarakan program bimbingan
7) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah
8) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan 
9) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik,karena di dalamnya terkandung finsi-funsi produksi.Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter produdari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figu guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidikitu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya.
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi 
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya denganbebabn bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.

Minggu, 13 Oktober 2013

Makalah Peranan Guru dan Kelakuan Murid


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya tulis berupa makal yang berjudul "PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID"
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggung jawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.





Penulis






BAB I
PENDAHULAN

A.   LATAR BELAKANG

Dalam setiap studi ilmu kependidikan persoalan yang berkenaan dengan guru dan jabatan guru, seringkali di singgung bahkan menjadi salah satu pokok bahasan yang mendapat tempat tersendiri.

Guru memegang kedudukan dan peranan yang strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut kedudukan dan peranan guru sulit digantikan oleh orang lain. Dipandang dari dimensi pembelajaran peranan guru dalam masyarakat Indonesia tetap dominan, sekalipun tekhnologi yang dapat di manfaatkan dalam proses pembelajaran tersebut. Maka dari itu, sejalan dengan hakikat dan makna yang terkandung dalam topik tersebut, masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah peranan guru dan kelakuan murid.

B.   Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Apa peranan dari seorang guru ?
  2. Bagaimana hubungan peranan guru dengan kelakuan murid ?
  3. Bagaimana hubungan murid dengan murid ?
C.   Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui peranan dari seorang guru
  2. Untuk mengetahui hubungan peranan guru dengan kelakuan murid
  3. Untuk mengetahui hubungan murid dengan murid.


BAB II
PEMBAHASAN
PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID

A.    PERANAN GURU DALAM KELAS
Peranan guru jika dikaitkan dengan murid di dalam kelas bermacam-macam, menurut situasi interaksi sosial yang terjadi atau yang dihadapi. Yaitu interaksi yang terjadi secara formal pada saat proses belajar mengajar di dalam kelas dan secara informal dimana itu terjadi di luar kelas.
Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan peranan guru di dalam klas secara formal. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukkan kewibawaannya atau (kekuasaanya) otoritasnya, artinya seorang guru harus mampu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol segala tindakan yang dilakukan murid di dalam kelas.[3] Kalau perlu guru bisa menggunakan kekuasaannya untuk memaksa murid belajar, melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang murid. Dan guru juga bisa memaksa anak atau murid untuk mematuhi segala peraturan.
Kalau kita mengambil sebuah analisa dari pengalaman yang kita jalani ketika masih sekolah (SD, SLTP, dan SLTA), terlihat bahwa seorang guru berperan sangat otoriter (walaupun tidak semuanya). Tetapi kita bisa melihat, guru terkadang memberikan sesuatu kepada murid dikelas dengan menggunakan kekuasaanya. Ada unsur pemaksaan yang terjadi ketika proses belajar mengajar di kelas. Kemudian timbullah sebuah pertanyaan apakah peran guru itu selalu bersifat otoriter? Artinya guru menggunakan kekuasaan untuk mendidik anak. Sementara tidak semua murid dapat menerima sikap maupun sifat dari guru yang seperti itu.
Mengutip dari bukunya Sanapiah Faisal, ternyata peran guru itu tidak selamanya otoriter. Ada tiga gaya dari guru sehubungan dengan mengajarkan anak di dalam kelas yaitu Otoriter, Demokratis, dan Laissez-fire.[4]
Otoriter seperti yang dijelaskan tadi bahwa guru yang otoriter tujuan umum, keegiatan khusus, dan prosedur kerja kelompoknya semuanya didekte oleh pemimpinnya. Akan tetapi pemimpinnya tetap menjauhkan diri dari artisipasi aktif kecuali apabila menunjukkan atau memberikan tugas. Kemudian kalau demokratis semua kegiatan dan prosedur kerjanya ditetapkan secara keseluruhan. Pemimpinnya ikut aktif dan berusaha menjadi anggota biasa dengan semangat tanpa melakukan teerlalu banyak kerja. Laissez-fire maksudnya adalah kebebasan sepenuhnya bagi kelompok maupun individu untuk menentukan keputusan, dengan sedikit partisipasi dari pemimpin atau dalam hal ini adalah guru.Jadi disini seorang guru harus bisa berperan sebagai seseorang yang dapat memimbing anak didik secara formal dalam kaitannya dengan pendidikan di dalam kelas.
Untuk peran guru dalam situasi informal, yang mana situasinya berbeda dengan situasi di dalam kelas. Seorang guru dapat mengendorkan hubungan formal dan jarak sosial. Misalnya sewaktu rekreasi, berolah raga, berpiknik atau kegiatan lain yang di luar kelas (formal). Murid-murid biasanya menyukai guru yang pada saat itu dapat bergaul dengan lebih akrab dengan mereka, dapat tertawa dan bermain terlepas dari pangkat keformalan. Jadi guru itu harus bisa menyesuaikan diri atau perannya terhadap situasi sosial yang sedang dihadapi. Dan peran ini hanya bisa di lakukan ketika berada pada situasi yang informal, jika dilakukan di dalam kelas (formal) maka akan menimbulkan kesulitan kedisiplinan bagi muri itu sendiri.
Pada satu pihak seorang guru memang harus bersikap otoriter untuk mengonterol kelakuakn murid dan mendidik anak agar bersikap disiplin. Tetapi dilain pihak seorang guru harus bersikap bersahabat dengan murid dan memberikan kebebasan kepada murid dalam menentukan arah pikirannya. Tetapi kalau kita lihat realita yang ada kebanyakan guru lebih bersikap otoriter dari pada demokratis kepada muridnya. Untuk itu perlu kiranya ada sebuah sosialisasi dari semua pihak yang terkait agar sikap-sikap yang terlalu otoriter dari guru ini dapat di minimalisir sedemikian rupa, sehingga peran guru tidak dicap sebagai orang yang jelek, menyeramkan dimata muridnya.
B.     HUBUNGAN PERANAN GURU DENGAN  KELAKUAN  MURID
Jika kita berbicara tentang hubungan guru dan murid, sebenarnya itu lebih mempunyai sifat yang relatif stabil. Dimana ciri khas dari hubungan ini adalah bahwa terdapat status yang tak sama antara guru dan murid. Guru itu secara umum diakui mempunyai status yang lebih tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk menunjukkan kelakuan yang sesuai dengan sifat hubungan itu. Bila anak itu meningkat didalam kelas ada kemungkinan ia mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Dalam hubungan guru dan murid biasanya hanya muridlah yang diharapkan mengalami sebuah perubahan kelakuan sebagai hasil belajar. Setiap orang yang mengajar akan mengalami perubahan dan menambah pengalamannya, akan tetapi ia tidak diharuskan menunjukkan perubahan kelakuan, sedangkan murid harus membuktikan bahwa ia telah mengalami perubahan kelakuan.
Perubahan kelakukan yang diharapkan mengenai hal-hal tertentu yang lebih spesifik, misalnya agar anak menguasai bahan pelajaran tertentu. Mengenai hal-hal yang umum, yang kabur, tidak mudah tercapai kesamaan pendapat, misalnya guru harus menunjukkan cinta kasih kepada murid, apakah ia harus bertindak sebagai sebagai orang tua, atau sebagi sahabat. Karena sifat tak sama dalam kedudukan guru dan murid, maka sukar bagi guru untuk mengadakan hubungan yang akrab, kasih sayang maupun sebagai teman dengan murid. Demi hasil belajar yang diharapkan diduga guru itu harus dihormati dan dapat memelihara  jarak dengan murid agar dapat berperan sebagai model bagi muridnya. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan guru untuk lebih dekat (berhubungan ) dengan murid:
  1. Guru secara eksplisit mengadakan komunikasi dengan murid sehingga ia mengetahui apa yang terjadi dan bisa mencegahnya.
2.      Ikut banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menggangu tetapi tidak terlalu asyik dengannya.
3.      Membina arus perubahan kegiatan
4.      Mengelola resitasi dengan cara yang bisa membuat murid sibuk (misalnya, menciptakan ketidakpastian tata aturan yang mewajibkan murid)
Guru akan lebih banyak mempengaruhi kelakuan murid bila dalam memberikan pelajaran dalam kelas hubungan itu tidak sepihak tetapi harus hubungan secara interaktif dengan partisipasi yang sebanyak-banyaknya dari pihak murid. Hubungan itu akan lebih efektif dalam kelas yang kecil daripada di kelas yang besar.
Ada beberapa jenis hubungan yang terjadi antara guru dan murid, dimana hubungan itu saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain, yaitu:
1.            Hubungan antara hasil belajar murid dengan kelakuan guru; dalam suatu penelitian ternyata bahwa pertambahan pengetahuan murid dalam pelajaran rendah korelasinya dengan taraf disukainya guru itu oleh murid. Jadi guru yang disukai, yang ramah, suka bergaul dengan murid, yang sering dimintai nasehat mengenai soal-soal pribadi, ternyata bukan guru yang efektif dalam menyampaikan ilmu.
2.            Kelakuan murid berhubungan dengan kelakuan guru; pada umumnya perbuatan anak sebagai reaksi terhadap kelakuan guru dapat bersifat menurut atau tidak menurut, menyesuaikan diri dengan perintah guru atau menentangnya. Anak yang menunjukkan kerjasama, turut memberikan sumbangan fikiran, memberi bantuan dan dengan demikian memperlancar kegiatan pelajaran. Tidak semua kelakuan guru berhubungan dengan kelakuan murid. Tetapi kalau kita melihat sebuah realita dalam dunia pendidikan kita, terlihat bahwa jika seorang guru melakukan dominatif dalam kelas (dominasi) terhadap muridnya maka kelakuan dari murid menunjukkan sikap tidak bekerjasama. Dan guru yang melakukan dominatif terhadap murid akan ditiru oleh murid dengan melakukan dominatif terhadap murid yang lainnya.
Secara singkatnya, walaupun dalam banyak aspek peranan guru dan murid tidak seimbang, konseptualisasi interaksi antara guru dan murid berasumsi bahwa guru dan murid saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Guru dan murid memberikan reaksi terhadap struktur peranan kelas dengan aneka ragam cara, dan banyak guru lebih menggantungkan pada otoriter dari pada personal resource. Itu terbukti dengan pengalaman yang saya alami saat masih SD (walaupun tidak semua). Guru memberikan tugas seenaknya saja tanpa memahami kondisi anak, bahkan ketika anak melakukan tindakan yang salah menurut guru langsung dipukul tanpa memberikan kesempatan kepada anak untuk menjelaskan yang terjadi maupun membela diri.
C.    HUBUNGAN MURID DENGAN MURID
Kelas bagi murid-murid dapat dipandang sebagai sistem persahabatan dan hubungan-hubungan sosial dan struktur sosial ini lebih bersifat tidak formal. Dalam lingkungan kelas diketahui bahwa murid yang satu dengan yang lain itu saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dan aspek yang paling  menonjol dari hubungan ini adalah perasaan murid terhadap satu sama lain, apakah itu perasaan cinta (kasinh sayang) ataupun perasaan benci.
Ada dua metode utama yang digunakan dalam mempelajari struktur informal para murid. Yang pertama dan paling banyak adalah metode sosiometri. Dalam garis besarnya, kita menanyakan kepada murid siapakah diantara murid-murid, satu orang atau lebih, yang paling disukainya sebagai teman belajar, menonton bioskop, diundang kepesta atau kegiatan lainnya, atau sebaliknya yang paling dia tidak sukai, yang tidak dianggapnya sebagai teman. Dari hasil pertanyaan yang diajukan kepada murid dalam kelas itu dapat disusun suatu diagram yang disebut sosiogram yang secara visualnya jelas menunjukkan kedudukan seseorang dalam hubungan sosial dengan murid-murid lainnya. Sosiogram itu dapat memperlihatkan pengelompokkan atau klik dikalangan murid-murid dalam kelas.
Kemudian metode yang kedua adalah metode partisipasi-obserfasi, yakni sambil turut berpartisipasi dalam kegiatan kelompok selama beberapa waktu mengadakan observasi tentang kelompok. Melalaui observasi yang dilakukan pengamat menganalisis kedudukan setiap murid dalam hubungannya dengan murid-murid yang lain dalam kelompok itu.[5] Disuatu kelas kita dapat menemukan beberapa macam hubungan murid dengan murid yang lainnya, diantaranya hubungan berdasarkan usia dan tingkat kelas, kelompok persahabatan di dalam kelas.
Murid-murid di suatu kelas, yang pada umumnya mempunyai usia yang sama cenderung menjadi sebuah kelompok yang merasa bahwa dirinya mampu untuk menghadapi kelas yang lain, bahkan menhadapi guru. Kita bisa mengambil contoh dalam pertandingan dan pristiwa-pristiwa yang menyangkut nama dan kehormatan kelas itu. Terhadap kelas yang lebih tinggi mereka merasa dirinya adalah orang bawahan sebagai adik dan harus menunjukkan ras hormat dan patuh. Sebaliknya terhadap kelas yang bawah mereka merasa sebagai atasan. Antara murid-murid yang berbeda tingkat kelasnya terdapat hubungan atasan dan bawahan, atau kakak-adik. Murid-murid yang tinggi kelasnya mempunyai kekuasaan dan kontrol terhadap murid-murid yang kelasnya lebih rendah dan usianya lebih muda. Dalam tiap kelas terdapat pula bermcam-macam kelompok, tetapi kelompok itu hanya terbatas pada struktur dalam kelas itu saja.
Kemudian berbicara tentang kelompok persahabatan di dalam kelas pembentukkannya itu mudah. Suatu kelompok terbentuk bila dua orang atau lebih saling merasa persahabatan yang akrab dan karena itu ia banyak bermain bersama, sering bercakap-cakap, merencanakan dan melakukan kegiatan-kegiatan di dalam maupun di luar kelas. Mereka merasakan apa yang di alami oleh salah seorang anggota kelompoknya dan saling menungkapkan apa yang terkandung dalam dirinya (sebagai teman curhat).
Keanggotannya bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima dan ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun kelompok ini tidak mempunyai peraturan yang jelas tetapi ada nilai-nilai yang dijadikan dasar dalam melakukan atau menerima anggota. Mereka merasa kuat dan penuh percaya diri karena rasa persatuan dan kekompakan yang mereka miliki diantara mereka. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individual. Tidak jarang dengan prinsif yang mereka pegang seperti itu sering terjadi konflik dengan orang tua, guru, dan yang lainnya.
Secara ringkasnya dapat diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa murid yang satu dengan yang lainnya itu memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dalam sebuah kelas. Dimana hubungan itu memiliki pengaruh terhadap struktur yang terjadi dalam kelas tersebut. Biasanya pengelompokan yang terjadi dalam sistem sosial kelas tersebut membawa pengaruh terhadap anggota dalam kelompok tersebut. Pengaruhnya bisa positif tetapi bisa juga negatif.


















BAB III PENUTUP

Dalam bagian yang akhir ini penulis ingin memberikan sebuah analisa singkat tentang struktur dan hubungan-hubungan peranan dalam kelas. Ternyata struktur dalam kelas merupakan sesuatu yang penting untuk kita ketahui khususnya dalam dunia pendidikan. Banyak orang belum memahami keadaan yang terjdai dalam kelas dimana disana terdapat hubungan-hubungan peranan yang saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Walaupun kelas merupakan sebuah struktur terkecil dari sebuah sekolah. Namun bila kita analisa disinilah sebenarnya letak keberhasilan dari output yang dihasilkan.
Interaksi yang terjadi di kelas seperti yang dijelaskan tadi merupakan sebuah fenomena aktual dalam dunia pendidikan. Tetapi ini seolah disepelekan dan masih menganut sistem yang lama. Artinya guru yang mempunyai peran dalam kelas masih menggunakan otoriternya dengan absolut (tidak semua). Bukti nyata dalam kelas SD, SM dimana murid masih dikekang dengan kekuasaan dari guru. Jika murid tidak sepaham dengan guru maka murid tersebut akan dihukum.
Inilah sebuah realita yang harus kita hilangkan dari dunia pendidikan. Konsep-konsep otoriter sebenarnya sesuatu yang bagus, tetapi disalah artikan dalam penerapannya di lapangan (lebih kepada kekuasaan untuk menindak orang lain). Untuk itu perlu adanya sebuah wacana bagaimana kita mengelola struktur yang ada dalam kelas agar lebih baik dan mereka atau komponen-komponen yang berperan dalam kelas itu dapat dikelola dengan baik. Bukan malah dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang merusak jiwa generasi muda.







DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Gunawan, H. Ari, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis sosiologi tentang berbagai problem pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Pers, 2004.
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Robinson, Philip, Beberapa Persfektif Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 1986